Minggu, 17 Februari 2013

PENJELEASAN DEMOKRASI


DEMOKRASI
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal darirakyat, baik secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan). Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía) “kekuasaan rakyat”, yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos) “rakyat” dan κράτος (Kratos) “kekuasaan”, merujuk pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota Yunani Kuno, khususnya Athena, menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM.Istilah demokrasi diperkenalkan pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan, yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang banyak (rakyat) (sumber: Wikipedia).
Kemudian secara konseptual bisa kita pahami sebagai implementasi kekuasaan yang menyiratkan arti politik dan pemerintahan, dimana rakyat beserta warga masyarakat didefinisikan sebagai warga negara. Demos menyiratkan makna diskriminatif atau bukan rakyat keseluruhan, tetapi hanya populus tertentu, yaitu mereka yang berdasarkan tradisi atau kesepakatan formal mengontrol akses ke sumber-sumber kekuasaan dan bisa mengklaim kepemilikan atas hak-hak prerogratif dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan urusan publik atau pemerintahan. Ada dua bentuk demokrasi dalam pemerintahan negara, antara lain :
  1. Pemerintahan Monarki (monarki mutlak, monarki konstitusional, dan monarki parlementer)
  2. Pemerintahan Republik : berasal dari bahasa latin, res yang artinya pemerintahan danpublica yang berarti rakyat. Dengan demikian dapat diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh dan untuk kepentingan orang banyak.
Sejarah dan Konsep
Konsep dan model penerapan demokrasi yang diterapkan di Indonesia (juga negara lain) dalam segala bentuknya berakar pada konsep yang ditawarkan oleh JJ. Rousseau (Abad XIX), dimana sumbernya Sebagai pengganti “Ajaran Kedaulatan Tuhan” (Teokrasi) yang diselewengkan di Eropa pada Abad XIX. Tujuan sejarahnya adalah mencapai kebaikan kehidupan bersama di dalam wadah suatu negara, khususnya dalam tata hubungan antara manusia sebagai warga negara dengan negaranya. Pandangan dasar dari konsep demokrasi ini mengajarkan bahwa keputusan tertinggi yang pasti benar dan atau baik adalah yang telah ditentukan oleh mayoritas manusia/warganegara yang dipilih melalui pemilihan umum, sedangkan keputusan yang dibuat oleh minoritas manusia/warganegara pasti salah dan atau tidak baik. Pada perkembangannya dihadirkanlah konsep Partai Politik untuk menjembatani antara konsep demokrasi ini dengan teori tata negara, berdasarkan sistem Dua Partai atau Sistem Banyak Partai. Sarana model demokrasi yang dilaksanakan pada suatu Negara sangat tergantung pada 2 (dua) aspek, yaitu: (1) sistem pembagian kekuasaan diantara lembaga-lembaga negara, dan (2) sifat hubungan antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif termasuk juga yudikatif.
Saya tidak bermaksud berspekulasi terlalu lama dalam tulisan ini tentang sejarah, konsep dari system demokrasi namun satu hal yang satu hal yang saya ingin garis bawahi adalah bahwa dalam setiap perkembangan dan pelaksanaannya, bangunan pondasi pemikiran dari konsep demokrasi adalah “Vox populi vox dei” yang berarti Suara rakyat (mayoritas) adalah suara Tuhan, dan Suara yang minoritas adalah suara setan.
Demokrasi di Indonesia
Lahirnya konsep demokrasi dalam perkembangan sejarah di Indonesia dapat kita telusuri pada sidang-sidang BPUPKI antara bulan Mei sampai Juli 1945. Ada kesamaan pandangan dan konsensus politik dari para peserta sidang BPUPKI bahwa kenegaraan Indonesia harus berdasarkan kerakyatan/kedaulatan rakyat atau demokrasi. Para pendiri bangsa bersepakat bahwa negara Indonesia merdeka haruslah negara demokrasi dan bertahan hingga hari ini. Menyimpulkan sejarah pelaksanaan demokrasi di indonesia dapat kita simak dalam periode berikut:
  1. Pelaksanaan Demokrasi Masa Revolusi tahun 1945 sampai 1950,
  2. Pelaksanaan Demokrasi Masa Orde Lama yang terdiri: Masa demokrasi liberal tahun 1950 sampai 1959, dan Masa demokrasi terpimpin tahun 1959 samapai 1965,
  3. Pelaksanaan Demokrasi Masa Orde Baru tahun 1966 samapi 1998,
  4. Pelaksanaan Demokrasi Masa Transisi tahun 1998 sampai 1999, serta
  5. Pelaksanaan Demokrasi Masa Reformasi tahun 1999 sampai sekarang.
Melalui gerakan reformasi, mahasiswa dan rakyat indonesia berjuang menumbangkan rezim Soeharto. Pemerintahan soeharto digantikan pemerintahan transisi presiden Habibie yang didukung sepenuhnya oleh TNI. Orde Baru juga meninggalkan warisan berupa krisis nasional yang meliputi krisis ekonomi, sosial dan politik. Agaknya pemerintahan “Orde Reformasi” Habibie mecoba mengoreksi pelaksanaan demokrasi yang selama ini dikebiri oleh pemerintahan Orde baru.
Pemerintahan habibie menyuburkan kembali alam demokrasi di indonesia dengan jalan kebebasan pers (freedom of press) dan kebebasan berbicara (freedom of speech). Keduanya dapat berfungsi sebagai check and balances serta memberikan kritik supaya kekuasaan yang dijalankan tidak menyeleweng terlalu jauh. Dalam perkembanganya Demokrasi di indonesia setelah rezim Habibie diteruskan oleh Presiden Abdurahman wahid sampai dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sangat signifikan sekali dampaknya, dimana aspirasi-aspirasi rakyat dapat bebas diutarakan dan disampaikan ke pemerintahan pusat. Ada satu hal yang membuat indonesia dianggap negara demokrasi oleh dunia Internasional adalah Pemilihan Langsung Presiden maupun Kepala Daerah yang dilakukan secara langsung.
Ambigu, Apatis, dan Potensi Disintegrasi
Ada satu hal yang membuat saya merasa miris dengan penetapan dan penerapan konsep demokrasi di Indonesia yang cenderung lahir dari filsafat dan modifikasi dari konsep liberal tanpa memandang bentuk fisik Negara ini secara geografis sebagai Negara regional kepulauan (archipelago state). Pandangan filosofis “Vox populi vox dei” di modifikasi sedemikian rupa oleh “pakar demokrasi bangsa” namun mereka seperti “lupa” kalau citra Wilayah Indonesia adalah kepulauan dan kelautan, sehingga tidak peduli lagi bahwa kebedaan gejala antar region, antar kawasan atau antar pulau-pulau itu hanya dapat disatukan dalam inplementasi prinsip (konsep) interrelasi, interaksi, dan interdepedensi bagian permukaan bumi Indonesia dengan manusia yang hidup di dalam setiap regionnya. Kesejahteraan dan kebahagiaan yang ditawarkan oleh demokrasi tetap hanya ada dalam impian utopis dan ambigu. Dampaknya yang muncul adalah kekecewaan serta sikap apatis yang berkembang menjadi kecemburuan sosial antar region di negara kepulauan maritim ini menjadi embrio disintegrasi bangsa.
Mari kita lihat dari sisi yang paling mudah, yaitu pemilihan kepala Negara (termasuk kepala Daerah) yang menjadi representasi utama pelaksanaan demokrasi saat ini di Indonesia dengan menghabiskan anggaran politik yang sangat luar biasa besarnya. Prinsip kerja utama dari sistem tersebut adalah “one man one voice”, yang kemudian akumulasi dari suara keseluruhan itulah yang menjadi pemenang dan berhak menjadi pemegang kebijakan sebagai representasi kedaulatan bangsa dari sabang sampai merauke, sehingga pemenang suara terbanyak adalah representasi Tuhan atas wilayah Nusantara dalam perspektif motto demokrasi yaitu Vox populi vox dei yang berarti Suara rakyat (mayoritas) adalah suara Tuhan.
Jika kita memandang regional Negara ini, kita dapat membaginya ke dalam tujuh region wilayah, yaitu: Sumatera, Jawa, Kalimantan, Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya dengan ilustrasi persebaran dalam gambar peta berikut;
Sumber peta
Motto Vox populi vox dei dengan menerapkan prinsip ‘one man one voice’ diterjemahkan kepada akumulasi keseluruhan populasi (wajib pilih) dari sabang sampai merauke. Persoalan yang pertama kemudian hadir adalah sepasang figure bukanlah representasi dari regional kepulauan tapi representasi statistik demografis sehingga menerjemahkan produk dari kekuatan politis sangat tidak berimbang antara mindset manusia dengan mindset lingkungan fisik region atau wilayah Indonesia. Persoalan berikutnya kemudian lahir dari akibat menafikkan inplementasi prinsip (konsep) interrelasi, interaksi, dan interdepedensi bagian permukaan bumi Indonesia dengan manusia yang hidup di dalam setiap regionnya. Turunan dari persoalan berikutnya adalah kebijakan pembangunan dari bangsa Indonesia ini secara sadar atau tidak telah melahirkan satu regional unggul atau superior yaitu regional Jawa dan ke-enam regional lainnya tergambarkan sebagai regional pelengkap. Hal ini wajar saja jika kita menjumlahkan seluruh populasi penduduk dari keenam region (92,978,096 orang) lainnya tidak mampu mengimbangi satu region jawa sejumlah 128,470,536 penduduk dan disanalah suara Tuhan-Nya Demokrasi Pancasila bersemayam. Jadi sesungguhnya drama demokrasi di Indonesia ini adalah pertarungan regional unggul yang tidak mungkin dikalahkan oleh keenam regional lainnya.
Disinilah salah satu titik terlemah dari kelemahan bangsa ini, dimana seorang figur tanpa kredibilitas dan kecakapan yang cukup juga dapat menjadi “representasi Tuhan” di Nusantara ini dengan menghadirkan figur dari region superior dalam kemasan produk industri sinema. Titik terlemah berikutnya dari NKRI ini adalah, sampai saat ini Pancasila sebagai Ideologi Negara dan sumber dari segala sumber dalam kehidupan kenegaraan belum memiliki kerangka pemahaman yang baku dan ajeg tentang demokrasi, atau singkatnya belum memiliki “Teori Demokrasi Pancasila”.
Sistem demokrasi dikembangkan sebagai pengganti Ajaran Kedaulatan Tuhan (Teokrasi) abad ke XIX, namun kini di lebur dengan paradigma Pancasila yangsangat jelas ber-Ketuhanan YME namun akhirnya lahirlah Demokrasi Pancasila yang sedang berjalan kearah “ke-TIDAK Adilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia”.
Menyerahkan persoalan dasar perpolitikan NKRI kepada demokrasi yang lahir dari filsafat adalah sebuah kecerobohan besar negara ini, dimana kerja filsafat hanya mampu merenung di tempatnya dan menyampaikan pesan; filsafat hanya mengurung diri untuk menjelaskan dunia. Filsafat hanya sampai di ambang dunia tetapi tidak mendunia. Yang dibutuhkan oleh NKRI sebelum hari ini, saat ini, dan kedepan adalah sebuah sistem politik yang lahir dari penyatuan rasio, emosi (moral) dan empiris ke dalam tindakan nyata di ruang muka bumi dari tujuh regional Indonesia.
Efek berikutnya kemudian dimulai pada paradigma pembangunan dengan terlalu mengacu kepada pendekatan kontinental yang sentralistik feodalistik dan telah berakibat fatal bagi enam regional lain di Indonesia. Mengembangkan sistem politik di Indonesia tanpa memahami dan peduli sistem interrelasi, interaksi, dan interdependensi bagian permukaan bumi dengan manusia pasti akan membuat kerusakan di muka bumi Nusantara.
Sistem politik Indonesia harus lahir dari sikap konsisten terhadap pandangan yang menyatukan komponen alamiah dengan komponen insaniah pada setiap region dimana faktor alam dan faktor manusia yang membentuk integrasi keruangan di wilayah regional yang bersangkutan dari Sabang sampai Merauke. Dalam berbagi diskusi dengan teman-teman geografer lainnya terkadang muncul konsep untuk mendesain prinsip “one region one voice” tapi masih terlalu dini, karena bagaimanapun demokrasi tetaplah demokrasi, buah dari kekecewaan para filsuf tentang “Ajaran Kedaulatan Tuhan” (Teokrasi) yang pernah diselewengkan di Eropa. Lantas kenapa teori dari barat (eropa dan amerika) begitu di agungkan di negara ini??? semoga peta dibawah ini dapat memberikan gambaran dari sebuah jawaban yang akan menjadi salah satu pembahasan nantinya.